Senin, 17 Desember 2012

komplikasi penyakit nifas


“KOMPLIKASI, KELAINAN, PENYAKIT DALAM MASA NIFAS”
Komplikasi dan Penyakit dalam Masa nifas serta Penanganannya


A.   Infeksi Nifas
1.   Endometritis
Uterus, tubavalopi, ovarium, pembuluh-pembuluh darah dan limfe, jaringan ikat di sekitarnya dan peritoneum yang menutupi alat-alat tersebut iatas merupakan kesatuan fungsional. Radang dapat menyebar dengan cepat dari kavum uteri ke seluruh genetalia interna. Radang edometrium dinmakan endometritis, radang otot-otot uterus, dinamakan miometritis atau metritis dan radang peritoneum disekitar uterus dinamakan perimetritis.
a.   Endometritis akut
Pada endometritis akut endommetrium mengalami edema dan hiperemi, dan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hiperemi, edem, dan infiltrasi leukosit berinti polimorf yang banyak, serta perdarahan-perdarahan interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksim gonores dan infeksi pada abortus dan partus
Infeksi gonorea mulai sebagai servicitis akut dan radang menjalar keatas dan menyebabkan endometritis akut. Infeksi posttabortum dan postpartum sering terdapat karena luka-luka pada serviks uteri, lika pada dinding uterus bekas tempat plasenta, yang merupakan porte d’entrée bagi kuman-kuman patgen. Selain itu alat-alat yang digunakan pada abortus dan partus dan tidak steril dapat membawa kuman-kuman ke dalam uterus.
Pada abortus septic dan sepsis peurperalis infeksi cepat meluas ke miometrium dan melalui pembuluh-pembuluh darah dan limfe dapat menjalar ke para metrium, tuba dan ovarium, dan ke peritoneum disekitarnya. Gejala-gejala endometritis akut yaitu penderita panas tinggi, kelihatan sakit keras, keluar leukorea yang bernanah, dan uterus serta daerah di sekitarnya nyeri pada perabaan.
Sebab lain endometritis akut ialah tindakan yang dilakukan dalam uterus diluar partus atau abortus, kerokan endometrium, memasukan radium ke dalam uterus, memasukan IUD, dsb. Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa patogen umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri dibantu dengan pelepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu haid. Dalam endometritis akut yang paling penting ialah berusaha mencegah, agar infeksi tidak menjalar.
b.   Endometritis kronik
Endometritis kronik tidak seberapa sering terdapat oleh karena infeksi yang tidak dalam masuknya pada miometrium, tidak dapat mempertahankan diri karena plepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu haid. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfisit. Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena sel itu juga ditemukan dalam keadaan normal dalam endometrium.
Gejal-gejala klinis endometrium kronika ialah leukore dan menoragi. Pengobatannya tergantung dari penyebabnya. Endometritis kronika ditemukan :
1)   Pada TBC
2)   Jika tertinggal sisa-sisa abortus dan partus
3)   Jika terdapat korpus alien di cavum uteri.
4)   Pada polip uterus dengan infeksi
5)   Pada tumor ganas uterus
6)   Pada salpingo ooforitis dan selulitis pelvis.
Endometritis tuberkulosa terdapat pada hampir setengah kasus-kasus tuberculosis genetal. Pada pemeriksaan mikroskopik, ditemukan tubercle ditengah-tengah endometrium yang beradang menahun. Pada abortus incomplit dengan sisa-sisa tertinggal dalam uterus terdapat desidua dan vili corialis ditengah-tengah radang menahun endometrium. Pada partus pada sisa plasenta masih tertinggal dalam uterus, terdapat peradangan dan ogranisasi dari jaringan tersebut disertai dengan gumpalan darah dan terbentuklah apa yang dinamakan polip plasenta. Endometritis kronik yang lain umumnya akibat infeksi terus-menerus karena adanya benda asing atau polip/tumor dengan infeksi da dalam cavum uteri.
2.   Peritonitis
Kadang-kadang infeksi uterus meluas lewat system limfatik sehingga mencapai cavum abdomen dan menyebabkan peritonitis.  Komplikasi ini sekarang dengan terapi segera sudah jarang dijumpai, tetapi masih dapat ditemukan pada infeksi sesudah SC jika terjadi nekrosis dan terbukanya luka insisi uterus.  Kadangkala dalam stadium lanjut perjalanan selulitis pelvic, abses parametrium bias mengalami ruptur dan menimbulkan peritonitis generalisata yang merupakan malapetaka bagi penderitanya.
Peritonitis generalisata merupakan komplikasi yang fatal, dan eksudat fibrinopurulen yang khas akan menimbulkan perlekatan usus, dan diantara gelung usus yang saling melekat itu dapat terbentuk gumpalan-gumpalan nanah.  Ruang subdiafragma dan cul-de-sac kemudian dapat menjadi tempat pembentukan abses.
Secara klinis, peritonitis puerperalis menyerupai peritonitis bedah, kecuali rigiditas abdomen yang terjadi biasanya kurang begitu menonjol.  Rasa nyeri bias hebat.  Distensi usus yang nyata merupakan akibat ileus paralitik, dan penyebab peritonitis generalisata harus dicari.  Jika infeksi dimulai dalam uterus dan kemudian meluas ke dalam peritoneum, pengobatan biasanya secara medis.  Sebaliknya, peritonitis yang terjadi akibat lesi pada usus atau organ tambahannya harus diatasi dengan pembedahan.
Terapi antimikroba harus mencakup preparat yang paling besar kemungkinan khasiatnya terhadap infeksi Peptostreptococcus, Peptococcus, Bacteroides, Clostridium dan jenis-jenis bakteri koliformis aerob.  Pemberian infus cairan dan elektrolit merupakan terapi penting mengingat pada peritonitis generalisata akan terjadi pelepasan sejumlah besar cairan ke dalam cavum peritonei.  Vomitus, diare dan febris juga menjadi penyebab hilangnya cairan dan elektrolit.  Volume cairan dan jumlah elektrolit yang diperlukan untuk menggantikan jumlah yang lepas ke dalam cavum abdomen, yang terserap dari dalam usus dan yang hilang lewat keringat (diaforesis) biasanya cukup besar, tetapi tidak begitu massif sehingga terjadi kelebihan isi sirkulasi.  Karena ileus paralitik biasanya merupakan gambaran yang menonjol, distensi traktus gastrointestinal harus dikurangi dengan pemasangan selang lambung.  Pemberian makanan per oral harus dihentikan selama proses pengobatan sampai fungsi usus pulih kembali dan sudah tejadi flatus, dan pemberian obat-obat untuk menstimulasi peristaltic tidak ada manfaatnya.

3.   Bendungan Asi
Selama 24 hingga 48 jam pertama sesudah terlihatnya sekresi lacteal, payudara sering mengalami distensi, menjdi keras dan berbenjol-benjol.  Keadaan ini disebut sebagai bendungan air susu atau caked breast”, sering menyebabkan rasa nyeri yang cukup hebat dan bias disertai dengan kenaikan suhu yang sepintas.  Kelinan tersebut menggambarkan aliran darah vena normal yang berlebihan dan penggembungan limfatik dalam payudara yang merupakan precursor reguler untuk terjadinya laktasi.  Keadaan ini bukan akibat overdistensi system lacteal oleh air susu.
Demam nifas akibat distensi payudara sering terjadi.  Demam tersebut mengkhawatirkan terutama bila kemungkinan infeksi tidak dapat disingkirkan pada wanita yang baru saja menjalani SC.  Lamanya panas yang terjadi berkisar 4-16 jam dan suhu tubuhnya berkisar dari 38 hingga 390C.  Ditegaskan bahwa penyebab panas yang lain khususnya panas yang disebabkan oleh infeksi, harus disingkirkan dahulu.
Pengobatan keadaan ini terdiri atas tindakan menyanggah payudara dengan menggunakan pembalut atau BH, kompres kantong es dan bila perlu pemberian kodein sulfat 60mg per oral atau preparat analgesik lainnya.  Tindakan memompa air susu atau memerahnya secara manual mungkin diperlukan untuk pertama kalinya, namun dalam beberapa hari keadaan ini biasanya mereda dan bayi sudah dapat menetek kembali secara normal.

4.   Infeksi Payudara
Dalam masa nifas dapat terjadi infeksi dan peradangan pada mammae terutama pada primipara.  Tanda-tanda adanya infeksi adalah rasa panas dingin disertai dengan kenaikan suhu, penderita merasa lesu dan tidak ada nafsu makan.  Penyebab infeksi adalah staphilococcus aureus.  Mamae membesar dan nyeri dan pada suatu tempat, kulit merah, membengkak sedikit, dan nyeri pada perabaan.  Jika tidak ada pengobatan bisa terjadi abses.
            Berdasarkan tempatnya infeksi dibedakan menjadi :
a.   Mastitis yang menyebabkan abses dibawah areola mamae.
b.   Mastitis ditengah-tengah mammae yang menyebabkan abses ditempat itu.
c.   Mastitis pada jaringan dibawah jaringan dibawah dorsal dari kelenjar-kelenjar yang menyebabkan abses antara mammae dan otot-otot dibawahnya.

Pencegahan

Perawatan putting susu pada laktasi merupakan usaha penting untuk mencegah mastitis.  Perawatan terdiri atas membersihkan putting susu dengan minyak baby oil sebelum dan sesudah menyusui untuk menghilangkan kerak dan susu yang sudah mengering.  Selain itu juga memberi pertolongan kepada ibu menyusui bayinya harus bebas infeksi dengan stafilococus.  Bila ada luka atau retak pada putting sebaiknya bayi jangan menyusu pada mammae yang bersangkutan, dan air susu dapat dikeluarkan dengan pijitan.

Pengobatan

Segera setelah mastitis ditemukan pemberian susu pada bayi dihentikan dan diberikan antibiotic, penisilin dalam dosis tinggi dapat diberikan.  Bila ada abses, nanah perlu dikeluarkan dengan sayatan sedikit mungkin pada abses, dan nanah dikeluarkan sesudah itu dipasang pipa ketengah abses, agar nanah bisa keluar.  Untuk mencegah kerusakan pada duktus laktiferus sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus-duktus.

5.   Trombophlebitis
Trombophlebitis menyerang permukaan pembuluh darah subkutan di ekstremitas atas dan bawah, yang disebabkan oleh terbentuknya pembekuan darah dalam vena varicose superficial yang menyebabkan stasis dan hiperkoagulasi pada kehamilan dan nifas, yang ditandai dengan kemerahan atau nyeri.  Penyebab trombophlebitis pada ekstremitas atas yang paling sering adalah infus intravena terutama jika memasukkan larutan asam atau hipertonik yang disebabkan karena factor pemasangan dan factor kelancaran aliran cairan infus.  Lancar atau tidaknya cairan infus dapat meningkatkan aktivasi system koagulasi.  Turbulensi dan hambatan aliran darah atau stasis mengganggu pembersihan factor koagulasi yang teraktivasi dan menyebabkan terjadinya kontak antar trombosit dengan dinding pembuluh darah di daerah tersebut, dimana hambatan aliran darah dan perubahan komponen factor pembekuan darah dapat menyebabkan trombophlebitis.
Trombophlebitis disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada hari ke-4 sampai 10 setelah melahirkan hingga mencapai 40,50C.  trombophlebitis juga disebabkan karena kurangnya ambulasi dini atau immobilisasi.  Beberapa mekanisme pada peningkatan frekuensi trombophlebitis pada usia lanjut yang dikaitkan dengan keadaan prethrombotik akibat maningkatnya factor-faktor koagulasi.  Demikian pula, efisiensi pompa otot betis juga menurun sejalan dengan meningkatnya usia, mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena.  Imobilisasi ini akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi.  Keadaan tersebut menyebabkan gangguan pada sel-sel endotel dan juga memudahkan terjadinya treombosis.
Murray et all (1998) menjelaskan bahwa trombophlebitis disebsbkan oleh nekrosis pembuluh darah, peningkatan pembuluh darah, dan keadaan darah.  Nekrosis vena dapat terjadi akibat pemasangan kateter, trauma, infeksi penyakit buerger atau iritasi zat/injeksi.  Peningkatan pembekuan darah cenderung disebabkan oleh tumor malignant, penyakit genetic, diet tinggi lemak, dan kontrasepi oral.  Selain itu juga disebabkan oleh karena istirahat baring yang lama karena ketidakatifan bentuk bekuan darah, suplay darah yang membeku dan matinya pembuluh darah.
Menurut Varney (1997) tanda dan gejala trombophlebitis yaitu nadi cepat, demam (40,50C), dingin, hipotensi, pleurisy dan pneumonia, didahului tanda dan gejala dari endometritis dan jika wanita mempunyai trombophlebitis femur, dia akan menunjukkan tanda dan gejala trombophlebitis vena bagian dalam.
Ciri-ciri trombophlebitis menurut Seller (1993) adalah kemerahan yang berlebihan yang berpengaruh pada daerah vena supervacial, kelembutan vena betis dan kaki, anggota badan terasa panas bila disentuh, sedikit oedema pada kaki, pireksia, meningkatnya nadi, mati rasa pada kaki, tanda positif pada saat diperiksa teraba kasar pada dorsofleksi kaki, akan menyebabkan nyeri pada lutut, dan diagnosis thrombosis vena superficial dibuat berdasarkan observasi dari nyeri dan bengkak pada kaki, terutama pada daerah betis dan juga bisa sampai ke daerah femur yang disebabkan oleh tingginya temperatur post SC.
Factor predisposisi dari trombophlebitis menurut Sally (2000) adalah obesitas, peningkatan umur maternal dan tingginya paritas, riwayat sebelumnya dari trombophlebitis vena, anastesi dan pembedahan dengan kemungkinan trauma yang lama pada keadaan pembuluh vena, anemia maternal, hipotermi atau penyakit jantung, endometritis, dan varicosities.
Manifestasi yang khas dari trombophlebitis permukaan adalah timbul akut disertai rasa sakit atau nyeri akibat terbakar dan nyeri tekan permukaan.  Trombophlebitis permukaan biasanya lebih nyeri daripada trombosis vena dalam karena letak proses peradangannya berdekatan dengan ujung-ujung syaraf kulit.  Kulit sepanjang vena tersebut akan menjadi eritematosa dan hangat, mungkin terlihat sedikit bengkak, vena dapat teraba.
TROMBOFLEBITIS

A. Pendahuluan

Dalam beberapa hari setelah melahirkan suhu badan ibu sedikit naik antara 37,2 - 37,8oC oleh karena resorbsi benda-benda dalam rahim dan mulainya laktasi. Dalam hal ini disebut demam resorbsi, hal ini adalah normal (Rustam Muchtar, 1998).
Infeksi nifas adalah keadaan yang mencakup semua peradangan alat-alat genitalia dalam masa nifas. Demam nifas adalah demam dalam masa nifas oleh sebab apapun. Mobilitas puereuralis adalah kenaikan suhu badan sampai 38 oC atau lebih selama 2 hari. Da;am 10 hari pertama postpatum. Kecuali pada hari petama. Suhu diukur 4x sehari secara oral (dari mulut) (Adele Pillitteri, 2007).
Beberapa faktor predisposisi
1) Kurang gizi atau nutrisi
2) Anemia
3) Higiene
4) Kelelahan
5) Proses persalinan bermasalah;
a. Partus lama / macet
b. Korioamnionitis
c. Persalinan traumatik
d. Kurang baiknya pencegahan infeksi
e. Manipulasi yang berlebihan
f. Dapat berlanjut keinfeksi dalam masa nifas
(Abdul Bari SAifudin, dkk., 2002)

Bermacam-macam jalan masuk kuman kedalam alat kandungan, seperti eksogen (kuman datang dari luar), autogen (kuman masuk dari tempat lain dari dalam tubuh), dan endogen (dari jalan lahir sendiri)
1) Streptococcus Haemoliticus Aerobik
2) Staphylococcus aureus
3) Escherichia coli

Cara terjadinya infeksi:
a. Manipulasi penolong yang tidak suci hama, atau pemeriksaan dalam yang berulang-ulang dapat membawa bakteri yang sudah ada didalam rongga rahim.
b. Alat-alat yang tidak suci hama.
c. Infeksi droplet, sarung tangan dan alat-alat terkena infeksi kontaminasi yang berasal dari hidung, tenggorokan dari penolong dan pembantunya atau orang lain.

Klasifikasi infeksi :

Infeksi terbatas lokasinya pada perineum, vulva, serviks, dan endometrium
Infeksi yang menyebar ketempat lain melaui: pembuluh darah vena, pembuluh limfe dan endometrium (Rustam Muchtar, 1998).

B. Tomboflebitis

1. Pengertian

Tomboflebitis merupakan inflamasi permukaan pembuluh darah disertai pembentukan pembekuan darah. Tomboflebitis cenderung terjadi pada periode pasca partum pada saat kemampuan penggumpalan darah meningkat akibat peningkatan fibrinogen; dilatasi vena ekstremitas bagian bawah disebabkan oleh tekanan keopala janin gelana kehamilan dan persalinan; dan aktifitas pada periode tersebut yang menyebabkan penimbunan, statis dan membekukan darah pada ekstremitas bagian bawah (Adele Pillitteri, 2007).

2. Klasifikasi

Tomboflebitis dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Pelvio tamboflebitis

Pelvio tromboflebitis mengenai vena-vena dinding uterus dan ligamentum latum, yaitu vena ovarika, vena uterina dan vena hipograstika. Vena yang paling sering terkena ialah vena overika dekstra karena infeksi pada tempat implantasi plasenta terletak dibagian atas uterus; proses biasanya unilateral. Perluasan infeksi dari vena ovarika dekstra, mengalami inflamasi dan akan menyebabkan perisalpingo-ooforitis dan peridiapendisitis. Perluasan infeksi dari vena uterna ialah ke vena iliaka komunis. Biasanya terjadi sekitar hari ke-14 atau ke-15 pasca partum.

b. Tomboflebitis femoralis

Tromboflebitis femoralis mengenai vena-vena pada tungkai, misalnya vena vemarolis, vena poplitea dan vena safena. Sering terjadi sekitar hari ke-10 pasca partum.
(Abdul Bari SAifudin, dkk., 2002)

3. Etiologi

a. Perluasan infeksi endometrium
b. Mempunyai varises pada vena
c. Obesitas
d. Pernah mengalami tramboflebitis
e. Berusia 30 tahun lebih dan pada saat persalinan berada pada posisi stir up untuk waktu yang lama
f. Memiliki insidens tinggi untuk mengalami tromboflebitis dalam keluarga.
(Adele Pillitteri, 2007)

4. Tanda dan Gejala

a. Pelvio Tromboflebitis

1) Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut bagian samping, timbul pada hari ke-2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas.
2) Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik sebagai berikut:
a) Mengigil berulang kali, menggil inisial terjadi sangat berat (30-40 menit)dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari pada waktu menggigil penderita hampir tidak panas.
b) Suhu badan naik turun secara tajam (36 oC menjadi 40 oC) yang diikuti penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada endometritis)
c) Penyaklit dapat langsung selama 1-3 bulan
d) Cenderung terbentuk pus, yang menjalar kemana-mana, terutama ke paru-paru
3) Abses pada pelvis
4) Gambaran darah
a) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar kesirkulasi, dapat segera terjadi leukopenia)
b) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat tepat sebelum mulainya menggigil, kultur darah sangat sukar dibuat karena bakterinya adalah anaerob.
5) Pada periksa dalam hampir tidak diketemukan apa-apa karena yang paling banyak terkena adalah vena ovarika; yang sukar dicapai dalam pemeriksaan dalam.
b. Tromboflebitis femoralis
1) Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10 hari, kemudian suhu mendadak naik kira-kira pada hari ke-10-20 yang disertai dengan menggigil dan nyeri sekali.
2) Pada salah satu kaki yang terkena, biasanya kaki kiri akan memberikan tanda-tanda sebagai berikut:
a) Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar bergerak, lebih panas dibandingkan dengan kaki lainnya.
b) Seluruh bagian dari salah satu vena pada kaki terasa tegang dan keras pada paha bagian atas
c) Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah paha
d) Reflektorik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi bengkak, tegang, putih, nyeri, dan dingin dan pulsasi menurun.
e) Edema kadang-kadang terjadi sebelum atau sesudah nyeri dan pada umumnya terdapat pada paha bagian atas, teatapi lebih sering dimulai dari jari-jari kaki dan pergelangan kaki kemudian melus dari bawah ke atas.
f) Nyeri pada betis, yang terjadi spontan atau dengan memijat betis atau dengan meregangkan tendo akhiles(tanda homan positif)

6.   Luka Perineum
Tanda dan gejala infeksi laserasi episiotomi adalah munculnya:
a.   Nyeri local
b.   Disuria
c.   Temperatur naik 38,3 °C
d.   Nadi < 100x/ menit
e.   Tanda dan gejala dapat akut atau tiba-tiba pada udara dingin dan pada suhu 104ºF ( 40ºC )
f.    Edema
g.   Peradangan dan kemerahan pada tepi
h.   Pus atau nanah warna kehijauan
i.    Luka kecoklatan atau lembab
j.    Lukanya meluas
Setelah luka diperbaiki harus dipantau secara rutin agar tidak terjadi tanda dan gejala infeski khususnya poin f, g, h, dan I di atas.  Pengobatan pada infeksi termasuk pada derajat luka jahitan meliputi: membuka, debridement, dan membersihkan luka.Serta obat anti mikroba.Pada episiotomi atau laserasi, truma, termasuk memar,abrasi termasuk jahitan luka kecil dan hematoma yang disebabkan oleh objek dari luar dari vagina (jamur).

B.   Perdarahan Post Partum dan Penanganannya

Perdarahan post partum paling sering diartikan sebagai keadaan kehilangan darah lebih dari 500 mL selama 24 jam pertama sesudah kelahiran bayi. Perdarah postpartum adalah merupakan penyebab penting kehilangn darah serius yang paling sering dijumpai di bagian ostetrik. Sebagai penyebab langsung kematian ibu, perdarah postpartum merupakan penyebab sekitar ¼ dari keseluruhan kematian akibat perdarahan obstetric yang diakibatkan oleh perdarahan postpartum.
Penyebab Langsung
Dua penyebab factor perdarahan langsung yang sering dijumpai adalah karena adanya miometrium yang hipotonik (atonia uteri)dan laserasi vagina serta serviks. Retensi bagian plasenta adalah penyebab yang lebih jarang ditemukan, dapat mengakibatkan perdarahan langsung atau perdarahan kemudian atau keduanya.
Faktor Predisposisi
Pada sebagian besar kasus, perdarahan postpartum dapat diramalkan sebelum persalinan, contoh-contoh kasus dengan trauma yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum adalah kelahiran bayi yang besar, persalinan forcep tengah dan pemuratan dengan forcep, persalinan dengan servik yang belum berdilatasi lengkap, insisi duhrssen pada serviks, setiap tindakan manipulasi intrauterine dan mungkin persalinan pervaginam dengan riwayat SC, atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang dapat menyebabkan erdarahan postpartum apat diantisipasi dengan preparat anestesi yang akan melemaskan uterus. Uterus yang over distensi kemungkinan besar akan menjadi hipertonik setelah persalinan, jadi wanita dengan persalinan janin besar, janin lebih dari satu, atau dengan hidramnion, cenderung akan mengalami perdarahan akibat atonia uteri. Wanita yang persalinanya ditandai dengan aktifitas uterus yang sangat kuat atau yang tidak efektif juga mengahdapi kemungkinan untuk mengalami perdarahan yang berlebihan akibat atonia uteri setelah persalinan. Demikian pula, persalinan baik yang diinduksi maupun yang diperkuat oleh preparat oksitosin, lebih besar kemungkinannya untuk diikuti dengan atonia uteri post partum dan perdarahan postpartum. Wanita dnegan paritas tinggi menghadapi resiko perdarahan akibat atonia uteri yang semakin meningkat. Dalam keadaan yang lazim dijumpai, kesalahan penanganan kala III persalinan meliputi upaya untuk mempercepat persalinan plsenta dengan melakukan tindakan pengeluaran plasenta secara manual. Peremasan dan pemijatan yang dilakukan secara terus-menerus pada uterus yang telah berkontraksi kemungkinan akan merintangi mekanisme fisiologis pelepasan plasenta, dengan konsekwensi pemisahan plasenta yang tidak lengkap dan peningkatan hilangnya darah.
Ciri-Ciri Klinis
Perdarahan postpartum sebelum pengeluaran plasenta disebut perdarahan tahap ke III. Khususnya perdarahan setelah pengeluaran plasenta, perembesan darah secara terus-menerus selama waktu beberapa jam dapat mengakibatkan kehilangan darah yang banyak. Efek yang ditimbulkan perdarahan ini sampai taraf yang cukup tinggi tergantung pada besarnya volume darah sebelum hamil, derajat hipervolumia darah yang diakibatkan oleh kehamilan, dan derajat anemia pada saat melahirkan
Gambaran yang khas pada perdarahan postpartum adalah denyut nadi dan tekanan darah yang tidak menunjukan perubahan jelas sampai jumlah darah yang hilang cukup banyak. Wanita dnegan tekanan darah normal dapat mengalami sedikit hipertensi sebagai respon terhadap perdarahan ini, sedikitnya pada saat permulaan perdarahan. Sedangkan pada wanita yang sudah menderita tekanan darah tinggi, tekanan darahnya dapoat ditafsirkan normal meskipun berada dalam keadaan hipovolemia yang berat. Tragisnya, keadaan hipovolemia ini bias saja tidak diketahui sampai keadaannya sudah terlambat. Wanita dengan preeklamsia berat biasanya kehilangan cir-ciri  hipervolemia yang ada pada kehamilan normal, dan dengan demikian wanita tersebut sering sangat peka atau bahkan intoleran terhadap kehilangan darah yang normal. Karena itu bila pada seorang wanita hamil dengan hipertensi berat yang ditimbulkan oleh kehamilannya dicurigai akan mengalami perdarahan hebat, kita harus segera mengetahui hasil pemeriksaan klinis maupun laborat yang akan menentukan pemberian infus dan tranfusi secara cepat
Diagnosis
Diagnosis perdarahan postpartum seharusnya tampak jelas, kecuali jika penumpukan darah intra uteri serta intra vagina tersebut tidak diketahui, atau pada beberapa kasus ruptur uteri yang disertai dengan perdarahan intra peritoneum. Membedakan antara perdaraha akibat atonia uteri dan perdarahan akibat laserasi dilakukan dengan memeriksa kondisi uterus. Jika perdarahan terus terjadi tetapi uterus teraba keras dan kontraksinya baik kemungkinan besar penyebab perdarahannya adalah laserasi. Untuk memastikan peranan laserasi sebagai penyebab perdarahan, inspeksi yang teliti terhadap vagina, servik dan uterus merupakan tindakan yang penting. Kadang-kadang perdarahan dapat disebabkan oleh atonia dan trauma, khususnya setelah persalinan dengan tindakan. Pemeriksaan terhadap kavum uteri, serviks dan seluruh vagina sangat pnting sesudah kelahiran dengan ekstraksi bokong, sesudah versi podalik dalam dan setelah menyelesaikan persalinan pervaginam pada wanita dengan riwayat SC dalam persalinan sebelumnya.
Prognosis
Ada bahaya lain yang menyertai perdarahan postpartum. Komplikasi serius yang terutama terjadi adalah kegagalan ginjal sebagai akibat hipotensi yang lama sehingga pervusi renal tidak segera pulih kembali. Sebaliknya terdapat pula koplokasi yang terjadi sesudah dilakukan tranfusi darah yang tepat. Koplikasi ini mencakup reaksi segera yang disebabkan oleh ketidak cocokan golongan darah resipien dengan donor dan kadang-kadang edema pulmoner ayng terjadi akibat cedera kapiler alvioler. Komplikasi yang timbul kemudian adalah hepatitis yang berkaitan dengan tranfusi darah.

C.  gangguan Psikologis Masa Nifas
1.   Depresi Postpartum
Depresi postpartum mempengaruhi sekitar 15% ibu dan khususnya terjadi pada minggu dan bulan awal-awal postpartum dan dapat bertahan sampai satu tahun atau lebih.  Depresi bukan satu-satunya gejala yang ada meskipun biasanya terlihat jelas.  Gejala lainnya meliputi kelelahan, mudah marah, kesedihan, kurangnya energi dan motivasi, adanya perasaan tidak mendapat bantuan dan putus asa, hilangnya libido dan nafsu makan, serta adanya gangguan tidur.  Sakit kepala, asma, nyeri punggung, adanya cairan dari vagina, dan nyeri abdomen juga dapat ditemui.  Gejala lain yang dapat timbul yaitu adanya pikiran obsesional, ketakutan akan melukai diri sendiri ataupun bayinya, terpikir untuk bunuh diri, dan depresonalisasi.
Prognosis untuk depresi postpartum cukup baik diatasi dengan diagnosis dini dan terapi.  Adanya orang yang menemani selama proses persalinan dapat menghindarkan terjadinya depresi postpartum.
Setelah pemulihan, ibu yang mengalami depresi postpartum membutuhkan konseling psikologis dan bantuan praktis.  Umumnya dengan cara:
·      Berikan dukungan psikologis dan bantuan nyata (pada bayi dan asuhan di rumah)
·      Dengarkan dan berikan dukungan serta besarkan hati ibu
·      Yakinkan ibu bahwa pengalaman tersebut marupakan hal biasa dan banyak ibu lain yang mengalami hal yang sama
·      Bantulah ibu untuk memikirkan kembali gambaran keibuan dan bantulah pasangan ini untuk memikirkan peran masing-masing sebagai orang tua baru
·      Jika depresinya cukup parah, pertimbangkan pemberian obat-obatan anti depresan jika ada

2.   Postpartum Blues
Penyakit yang juga disebut post partum blues anin adalah ganggaun suasana  hati yang dialami oleh sekitar 50 % wanita dalam 3 sampai 6 hari setelah melahirkan (Kendell dkk., 1987). Terdapat bukti bahwa kemurungan (blues) ini dipicu oleh turunnya progesterone (Harris dkk., 1994).
Walaupun mungkin muncul berbagai gejala, gambaran utamanya adalah insomnia, mudah sedih, depresi, ansietas, gangguan konsentrasi, iritabilitas, dan labilitas afek. Maka dapat disimpulkan abhwa ini adalah tanda-tanda dari depresi minor atau bahkan mayor. Labilitas afek dialami oleh banyak dari wanita ini. Mereka mungkin mudah menangis selama beberapa jam dan kemudian pulih sempurna, namun mudah menangis kembali keesokan harinya. Yang utama, gejala-gejala yang tampak bersifat ringan dan biasanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Diindikasikan terapi suportif, dan wanita yang bersangkutan dapat diyakinkan bahwa disforia yang dialami bersifat sementara dan kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan hormon. Mereka harus diapanyau untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya gangguan jiwa yang lebih parahtermasuk depresi atau psikosis postpartum.

3.   Postpartum Psikosa
Postpartum psikosa merupakan gangguan yang paling mengkhawatirkan dan merupakan penyakit jiwa masa nifas yang parah.  Wanita dengan psikosis postpartum tidak berpijak pada realitas lagi.  Mereka memperllihatkan masa waras yang berselang-seling dengan psikosis.  Yang juga sering dijumpai adalah gejala-gejala kebingungan dan disorientasi yang sering tampak pada keadaan toksik atau delirium.
Terdapat dua tipe wanita yang tempaknya rentan mengalami gangguan ini, yaitu wanita yang pada dasarnya telah memiliki gangguan depresif, manik, skizofrenik, dan wanita yang pernah mengalami depresi atau kejadian kehidupan berat pada tahun sebelumnya.  Interval yang singkat antara serangan psikiatrik sebelumnya dan persalinan meningkatkan kemungkinan kekambuhan.  Factor risiko lainnya berkaitan dengan factor biologis dan mencakup usia muda, primiparitas, dan riwayat penyakit jiwa dalam keluarga.
Sekitar ¼ dari wanita yang pernah mengalami satu kali episode psikosis postpartum akan mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya.  Awitan puncak gejala psikotik adalah 10-14 hari postpartum, tetapi risiko tetap tinggi selama beberapa bulan setelah melahirkan.
Perjalanan Penyakit Dan Pengobatan
Perjalanan penyakit bervariasi dan bergantung pada jenis penyebab penyakit.  Bagi mereka dengan psikosis manik-depresif dan skizoafektif, waktu pemulihan adalah sekitar 6 bulanm(Sneddon, 1992).  Yang paling mengalami gangguan fungsi pada saat pemeriksaan lanjutan adalah mereka yang menderita skizofrenia.  Para wanita ini sebaiknya dirujuk ke psikiater.  Keparahan psikosis postpartum mengharuskan diberikannya terapi farmakologis dan pada sebagian besar kasus dilakukan tindakan rawat inap.  Wanita ynag mengalami psikosis biasanya mengalami kesulitan merawat bayinya.
            Terapi Gangguan Jiwa
Saat ini tersedia sejumlah besar obat psikotropika untuk mengatasi gangguan jiwa (Kuller dkk., 1996).  Sebagian wanita hamil yang memerlukan farmakoterapi telah menderita penyakit jiwa berat, misalnya gangguan bipolar, gangguan skizoafektif, skizofrenia atau depresi mayor berulang.  Wanita lain yang memerlukan terapi adalah mereka yang mengalami gangguan emosi yang berkembang selama kehamilan.
Antidepresan
Depresi berat memerlukan terapi dan pada sebagian besar kasus, manfaat terapi melabihi risikonya.  Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin, doksepin, imipramin, dan nortriptilin sering digunakan untuk gangguan-gangguan depresif.  Efek samping pada ibu adalah hipotensi ortostatik dan konstipasi.  Sedasi juga sering terjadi, sehingga obat golongan ini sangat bermanfaat bagi masalah tidur yang berkaitan dengan depresi.  Inhibitor monoamin oksidase (MAOI) adalah antidepresan yang sangat efektif yang semakin jarang digunakan karena menyebabkan hipotensi ortostatik.  Pengalaman dengan inibitor selektif ambilan ulang serotonin (selective serotonin reuptake inhibitors, SSRI), termasuk fluoksetin dan sertralin, menyebabkan obat golongan ini menjadi terapi primer bagi sebagian besar penyakit depresi.  Obat-obat ini tidak menimbulkan hipotensi ortostatik atau sedasi sehingga lebih disukai daripada antidepresan lain.
            Antipsikotik
Wanita dengan sindrom-sindrom kejiwaan yang berat seperti skizofrenia, gangguan skizoafektif, atau gangguan bipolar sangat mungkin memerlukan terapi antipsikotik selama kehamilan.  Antipsikotik tipikal adalah golongan antagonis dopamine.  Klozapin adalah satu-satunya antipsikotik atipikal yang tersedia, dan obat ini memiliki kerja yang berbeda tetapi tidak diketahui.  Potensi dan efek samping berbagai antipsikotik berbeda-beda.  Obat-obat yang berpotensi lebih rendah, klorpromazin dan tioridazin, memiliki efek antikolinergik yang lebih besar serta bersifat sedatif.
Litium
Keamanan litium selama kehamilan masih diperbebatkan.  Selain kekhawatiran tantang teratogenesitas, juga perlu dipertimbangkan indeks terapetiknya yang sempit.  Pernah dilaporkan toksisitas litium pada neonatus yang mendapat ASI.
Benzidiazepin
Obat golongan ini mungkin diperlukan selama kehamilan bagi wanita dengan gangguan cemas yang parah atau untuk pasien psikotik yang agitatif atau mengamuk.  Diazepam mungkin menyebabkan depresi neurologis berkepanjangan pada neonatus apabila pemberian dilakukan dekat dengan kelahiran.
Terapi Kejut Listrik (Elektroconvulsive Therapy, ECT)
Terapi dengan kejutan listrik untuk depresi selama kehamilan kadang-kadang diperlukan pada pasien dengan gangguan mood mayor yang parah dan tidak berespon terhadap terapi farmakologis.  Hasil diperoleh dengan menjalani 11 kali terapi dari umur kehamilan 23-31 minggu.  Mereka menggunakan tiamilal dan suksinilkolin, intubasi, dan ventilasi bantuan setiap kali terapi.  Mereka mendapatkan bahwa kadar epinefrin, norepinefrin, dan dopamine plasma meningkat 2-3 kali lipat dalam beberapa menit kejutan listrik.  Walaupun demikian, rekaman frekuensi denyut jantung janin serta frekuensi jantung, tekanan darah, dan saturasi oksigen ibu tetap normal.  Miller (1994) mengkaji 300 laporan kasus terapi kejut listrik selama kehamilan mendapatkan bahwa penyulit terjadi pada 10%.  Penyulit-penyulit tersebut antara lain adalah aritmia transien jinak pada bayi, perdarahan pervaginam ringan, nyeri abdomen, dan kontraksi uterus yang swasirna.  Wanita yang kurang dipersiapkan juga berisiko lebih besar mengalami aspirasi, kompresi aortokava, dan alkalosis respiratorik.  Langkah-langkah pengkajian penting adalah pengkajian servik, penghentian obat antikolinergik yang tidak esensial, pemantauan frekuensi denyut jantung janin dan uterus, hidrasi intravena, pemberian antasida cair, dan pasien dobaringkan miring kiri.  Selama prosedur, hindari hiperventilasi berlebihan dan jalan napas harus dilindungi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar